Jumat, 06 November 2015

Pendidikan Anak dalam Keluarga Kristen



Rencana Tuhan sangat unik dan indah dalam membentuk setiap keluarga. Bahkan saat kehadiran anak dalam sebuah keluarga. Membangun keluarga yang kokoh dengan dasar yang benar itulah yang dikehendaki oleh Allah.  Alkitab sangat serius menekankan tentang betapa pentingnya menikah dengan pasangan yang seiman agar ada kesepakatan dan kesamaan nilai dalam mendidik anak yang Tuhan percayakan.  Sebab nilai kebenaran yang kita pegang itulah yang akan membentuk pola pendidikan yang kita ajarkan dan lakukan.   Dan jangan pernah lupa bahwa keluarga adalah “gereja kecil” yang Tuhan pakai sebagai “sekolah” untuk anak-anak.  Sekaligus menjadi agen Allah untuk mewarnai dunia sekitar. Di dalam keluarga anak perlu diajarkan tentang prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan. Itu sebab sebagai wakil Allah, maka setiap orang tua harus melakukan perannya sebagai pendidik yang takut akan Tuhan dan mau belajar firman Tuhan. Sehingga tugas yang diemban sejalan dengan kehendak-Nya. Mengutip dari tulisan Pdt. Esther S. Hermanus mengenai pendidikan anak, ia mengatakan:
Jika anak dibesarkan dengan kecaman, ia belajar menyalahkan,
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar kekerasan,
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar menjadi pemalu,
Jika anak dibesarkan dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah,
Jika anak dibesarkan dengan dorongan dan semangat, ia belajar percaya diri,
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar untuk menghargai,
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar tentang keadilan,
Jika anak dibesarkan dengan keamanan, ia belajar tentang iman,
Jika anak dibesarkan dengan restu, ia belajar menyukai diri sendiri,
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang, ia belajar mengasihi dunia

Bagaimana anak nantinya dan siapa anak itu, sangat ditentukan dari pola pendidikan yang dijalankan di rumah.  Sadar atau tidak bahwa di dalam diri kita sebagai orang tua melekat dengan kuat otoritas Allah dalam mendidik anak. Ayah sebagai pemimpin dan ibu sebagai penolong serta anak-anak sebagai anggota dalam keluarga. Itulah struktur keluarga yang ditetapkan oleh Tuhan. Dan Kristus adalah kepala yang memerintah secara penuh dalam keluarga. Perintah-Nya sangat jelas agar setiap orang tua mengajarkan kepada anak-anaknya untuk hidup mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan (Ulangan 6:4-9) dan mendidik orang muda dijalan yang benar sesuai dengan jalan hidup yang telah direncanakan Tuhan supaya hidupnya tidak menyimpang dari jalan itu (Amsal 22:6). Namun dalam mengemban pendidikan itu kita dituntut untuk menjadi teladan dari apa yang diajarkan dan mengajarkannya dengan penuh sabar dan kasih.  Proses mengajar anak harus disertai dengan tindakan dan teladan yang hidup dari orang tua agar tidak menimbulkan kebingungan. Ketulusan dalam mengajar cepat atau lambat pasti akan mengerjakan buah pada waktunya.  Itu sebab jangan pernah menyerah dan putus asa dalam menjalankannya. Anak perlu dilatih untuk beribadah, diajar berdoa, diajar beriman dan diajar untuk memahami kebenaran firman Tuhan. Berikan disiplin pada waktunya bila memang diperlukan.  Dan berikan dorongan kepada anak agar tidak cepat menyerah. Pujian tentu sangat diperlukan saat ia berhasil melakukan suatu pekerjaan dengan baik.  Hindari menggunakan kata-kata yang melemahkan mental atau kata-kata yang tak pantas.  Selalu berlaku bijaksana.

Akhirnya Tuhan menginginkan agar para orangtua benar-benar berkomitmen untuk mendidik anak di jalan yang telah Tuhan rencanakan di dalam hidupnya. Tuhan pasti memiliki sebuah rencana yang indah di dalam menciptakan setiap anak. Sudah menjadi tugas orangtua untuk menuntun anaknya agar tetap berada di jalan yang benar. Oleh karena itu, orangtua harus meminta hikmat dan kekuatan dari Tuhan agar dapat mengarahkan anak-anak yang telah Tuhan percayakan kepada mereka ke jalan yang Tuhan tetapkan.

Rabu, 04 November 2015

Makin Lama, Makin Kuat



Mereka berjalan makin lama makin kuat,  hendak menghadap Allah di Sion.
Mazmur 84:8

Hidup adalah perjalanan iman yang menyenangkan.  Semakin kita memahami kebenaran, semakin kita diajar dan sekaligus bergumul di dalamnya untuk lebih baik, dan rindu menjadi berkat bagi banyak orang.  Mengoreksi diri dan berbagi hidup dalam refeksi rohani dalam bentuk tulisan semakin menyukakan.  Terkadang ada kalanya merasa lelah dan ingin beristirahat untuk tidak menulis, namun setelah saya tahu bahwa pembaca dari tulisan Christosent Discipleship Ministry ini mencapai 1.990 pembaca dari berbagai belahan dunia.  Tak disangka dan tak pernah terbayangkan pada akhirnya blog ini telah menjadi berkat bagi mereka yang membacanya.  Kiranya anda yang membaca  tulisan dalam bentuk renungan ini bisa terus kuat dan semangat dalam perjuangan iman. Dan senantiasa menikmati waktu yang indah bersama dengan Tuhan.  Dan kiranya rohmu dikuatkan dalam segala hal dan saya percaya ketika kita memiliki hubungan yang akrab dengan Tuhan, maka kita bisa melihat betapa panjang, dalam dan lebar kasih Kristus yang menopang dan menuntun hidup kita.

Pemazmur bani Korah adalah suatu keluarga dari suku Lewi yang pandai bernyanyi.  Puji-pujian yang indah dinaikan kepada Tuhan, dengan penuh sukacita dan dengan penuh keagungan.  Syiarnya yang indah menambah rasa kegaguman kepada Allah yang disembah.  Perjalanan imannya yang begitu agung dituangkan dalam bentuk kerinduannya yang mendalam akan Allah yang dipercayai.  Mempercayai Allah dan menikmati kekaguman akan Dia itulah yang terjadi.  Allah yang disembah bukan Allah yang mati namun Ia adalah Allah yang hidup.  Ia mendengar pujian yang dinaikan oleh umat-Nya lewat pujian.  Dan Ia sungguh menikmati pujian itu.  Sang pemazmur pun menikmati puji-pujian yang dipersembahkan kepada Tuhan.  Dia mengungkapkan bahwa di senang dengan tempat kediaman Tuhan.  Bila seseorang yang mengatakan dirinya dekat dengan Tuhan, tetapi tidak suka dengan tempat kediaman-Nya maka sebetulnya kedalaman imannya yang sesungguhnya perlu dipertanyakan.  Bukankah kesenangan kita dengan Tuhan harus juga diwujudkan dalam tindakan nyata, dan kita senang pergi ke rumah ibadah. Memuliakan Dia dan bersukacita bersama dengan semua orang yang percaya di dalam gereja.  Kita menikmati hadir-Nya dan kita bertumbuh dalam persekutuan bersama orang-orang beriman. Kerinduan yang begitu dalam membuat jiwanya hancur karena merindukan tempat yang khusus itu. Apakah memang tempat itu yang menjadi alasannya? Tentu saja tidak, namun tempat itu menjadi simbol kerinduan akan Pribadi Allah itu sendiri.  Memang seharusnya, Allah dan kehadiran-Nya menjadi hasrat kita.  Sebab Dia bukan hanya Allah, namun Ia adalah Tuhan dan Raja atas hidup kita.  Semakin dalam kita mengenal Dia, maka kita dibuatnya semakin rindu dan haus akan Dia.  Daud sampai merasakan ada kalanya Tuhan dirasa begitu jauh dan adakalanya Ia terasa begitu dekat.  Gambaran jauh dan dekat seolah menjadi ukuran dalam kebersaman dengan Tuhan. Tentu saja hanya mereka yang pernah dekat dengan-Nya bisa merasakan situasi seperti itu. Yang pasti Tuhan tidak pernah jauh dari kita, yang ada hanyalah kita yang menjauh daripada-Nya.  Mengapa mereka begitu rindu akan kehadiran Allah?

Pertama, karena mereka yang jauh dari Allah jiwanya merasa hancur.  Pernahkah anda merasakan jiwa yang hancur karena telah jauh dari Tuhan? Saya pernah merasakan situasi seperti itu ketika dalam pelayanan terhadap salah satu suku di indonesia.  Melayani sebuah suku membuat dirimu merasa terasing dan kering.  Jangankan musik-musik rohani atau khotbah, terkadang membaca Alkitab pun kita harus sembunyi-sembunyi.  Mentor memberikan waktu untuk bersekutu dan berdiskusi tentang firman Tuhan adalah pada hari-hari tertentu yang sudah ditentukan.  Pada awalnya saya masih tahan dan menikmati keadaan tersebut, namun setelah masuk pada tahun ketiga jiwa terasa kering dan rohani lemah.  Kehidupan yang demikian bagaikan berada dipadang gurun.  Ketika mau minum rasanya sulit sekali mendapatkan air.  Jiwa saya hancur, namun karena kehausan yang begitu dalam saya memutuskan untuk membaca firman Tuhan pada saat larut malam dan pergi ke gereja secara diam-diam.  Jiwa hancur karena Allah begitu luar biasa sehingga pada tahun ke empat, saya memutuskan untuk pelayanan di gereja saja sebab saya tidak tahan dengan situasi hidup rohani seperti demikian.  Mungkin ini gambaran tentang kehancuran jiwa yang dialami oleh pemazmur, dia mengalami keinginan yang dalam akan Allah.  Ia rindu memiliki kepuasan hidup bersama dengan Allah.  Apakah ini menjadi semangat kita, merindukan Allah memuaskan kita dengan kehadiran-Nya?

Kedua, karena ada kebahagiaan dalam hidup.  Bahagia yang sejati adalah ketika kita tahu siapa sesungguhnya Allah yang kita percayai.  Iman yang begitu dalam dan semangat yang tak terpadamkan menuntut pemenuhan yang luar biasa.  Allah menjadi pusat yang mendatangkan kebagiaan yang sejati.  Itu sebab segala puji-pujian dinaikan kepada Allah dan mereka merasa ketika mereka meninggikan nama-Nya ada kekuatan yang mengalir di dalam seluruh kehidupan yang menuntun mereka untuk bergerak, berkata-kata dan berani membayar harga karena Dia layak menerima-Nya.  Bila Allah tidak menjadi kebagiaan kita maka sebenarnya kita telah kehilangan makna kebagiaan dalam  hidup.  Semua kebahagiaan yang ditawarkan oleh dunia ini adalah semu adanya, dan fana.  Kita hanya dibuat senang sementara dan sedih selamanya.  Namun di dalam Dia kita memiliki kebahagiaan yang kekal.  Kebahagiaan inilah yang memimpin kita untuk terus semangat dalam perjuangan dan pertandingan iman di dalam dunia ini.  Berbahagialah mereka yang percaya kepada Tuhan.

Ketiga, karena mereka berjalan makin lama makin kuat.  Pejalanan iman tidak pernah membuat orang semakin lemah, hanya iman yang salahlah yang membuat orang lemah.  Namun bila seseorang berjalanan di dalam perjalanan iman yang benar maka secara progresif perjalanan imannya semakin kuat.  Bukan karena kekuatan diri namun karena ada kekuatan yang menopang hidupnya.  Perjalanan yang keras sekalipun tidak pernah dapat melemahkan langkah mereka.  Bahkan apabila mereka melintasi lembah baka, mereka tidak pernah putus asa, namun mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air.  Tak ada satupun persoalan dapat menghambat langkah orang yang berserah penuh kepada Tuhan.  Inilah yang seharusnya terjadi pada semua orang percaya.  Mereka tak boleh dilemahkan langkahnya hanya karena persoalan hidup, namun mereka harus melangkah maju dalam ketetapan hati yang berpegang pada Tuhan.  Kekuatan yang sedemikian menjadi model dari hidup kekristenan yang tak boleh ikut arus zaman.  Namun kita harus memiliki kekuatan yang kuat, sebab hendak menghadap Allah di Sion.  Sehingga perjalanan iman harus mempunyai arah yang jelas, yaitu Allah.  Bukan yang lain. Bila Allah menjadi arah perjalanan iman kita maka arah tersebut membuat kita melangkah dengan penuh semangat dan taat.  Karena itu jangan pernah membuat arah perjalanan yang lain selain daripada jalan yang menuju kepada Allah yang hidup.

Keempat, Allah tidak pernah menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela.  Tuhan tak pernah menahan kebaikan.  Kebaikannya telah dirasakan oleh semua orang di dunia ini.  Secara universal Dia baik karena semua alam semesta bisa dinikmati oleh semua orang.  Semua orang bisa bernafas dan semua orang bisa menikmati sinar matahari.  Namun secara khusus, baikan Tuhan bisa dirasakan oleh mereka yang percaya kepada-Nya. Mereka bisa menikmati keselamatan di dalam Dia. Menikmati kasih Allah yang sempurna.  Kasih dan kemuliaan-Nya Ia berikan.  Ia mendengarkan doa orang percaya. Ia menjadi perisai. Dan Ia menjadi tempat perteduhan orang percaya.  Tak ada gunanya bagi Tuhan untuk menahan kebaikan.  Ia rela memberikan dan menyerahkan kebaikan-Nya kepada mereka yang mau menerima-Nya.  Sama seperti seorang ayah atau ibu yang selalu ingin melakukan kebaikan kepada anak-anaknya, demikian juga dengan Allah kita.  Ia rindu memberikan kebaikan-Nya itu, dan kita dianggap-Nya layak menerimanya.  Ketika kita berpikir bahwa Allah itu jahat, maka bagian ini mematahkan pemikiran tersebut.  Kalau Allah memberikan displin kepada umat kesayangan-Nya itu memang seharusnya. Tak ada kejahatan dalam disiplin.  Allah mendisiplin kita dengan tujuan untuk mengubah dan membawa kita untuk melihat kasih dan kebaikan-Nya.  Kebaikan bisa diartikan sebagai bentuk cara Allah bekerja di dalam segala untuk mendatangkan kebaikan bagi hidup kita.  Itu sebab Ia turut bekerja, Ia aktif mendatangi manusia yang berdosa dan melakukan penebusan.  Ia aktif memelihara hidup kita.  Dia dalam kebaikan-Nya yang sempurna Ia sampai rela menyerahkan nyawa-Nya.  Itu Ia lakukan agar kita tak binasa.  Namun menikmati sukacita dan kemuliaan bersama-Nya di Surga.

Senin, 26 Oktober 2015

Pahit menjadi Manis




Keluaran 14:19-27
Bangsa Israel baru saja melewati pertaruhan nyawa yang sangat hebat dan menegangkan. Bagaimana tidak, di belakang mereka, Firaun dan pasukan berkuda telah mendekat dan di depan mereka ada Laut Teberau sehingga  mereka dalam keadaan sangat sulit dan terjepit.  Di dalam benak mereka hanya dua kemungkinan; mati di tangan Firaun atau mati tenggelam di Laut Teberau. Sebuah keadaan yang tak mudah bukan? Namun diluar dugaan dan kemampuan mereka untuk mengatasi masalah tersebut, Tuhan bekerja dengan sempurna. Pertolongan-Nya tidak terlambat dan tidak dapat dihambat. Firaun dan seluruh pasukannya dibuat-Nya mati tenggelam.  Kejadian tersebut sontak disambut dengan sukacita dan sorak-sorai bangsa Israel dan mereka menyanyikan lagu kemenangan di hadapan Tuhan, memainkan rebana dan menari-nari karena sebuah kejadian yang ajaib yang Tuhan kerjakan bagi mereka. 

Kejadian itu, bukanlah akhir dari cerita.  Pada ayat 23 tertulis kalimat, “sampailah mereka ke Mara,”.  Mara adalah tempat yang diharapkan dan sekaligus menjadi tempat yang ditolak. Inilah tempat yang sudah ditunggu-tunggu oleh bangsa Israel agar mereka boleh minum sepuasnya. Namun sesampainya di sana, mereka sangat kecewa, air tersebut sama sekali tidak dapat diminum karena rasanya pahit. Kenyataan sungguh tidak sesuai dengan impian. Sekarang bukan hanya airnya yang terasa pahit tetapi hati mereka juga menjadi pahit, mereka kecewa karena Musa tidak lagi membuat keajaiban dan bisa menjadi andalan, ini mungkin saja sebuah pertanda bahwa Tuhan seakan sudah tidak lagi berada di pihak mereka.  Dalam kondisi yang pahit mereka tidak dapat memahami Musa sekaligus sulit percaya kepada Tuhan.

Salahkah kalau mereka berharap agar air di Mara bisa menghilangkan dahaga? Tentu tidak salah!  Coba bayangkan sudah tiga hari di padang gurun tidak minum air betapa hausnya mereka.  Mungkin anak-anak mereka menangis, istri-istri mulai mengomel,  bapak-bapak sudah marah-marah dan ternak yang meraka bawa sudah mulai lemah.  Namun marilah kita melihat semua peristiwa di dalam hidup ini dalam sudat pandang kaca mata Ilahi.  Melihat dengan Mata Imam, melalui air di Mara Tuhan sedang menguji beberapa hal dari hidup manusia. 

            1.    Menguji Fokus Mereka
Ketika pengharapan mereka terhempas ke tanah, hati orang Israel yang sesungguhnya terungkap.  Dalam keadaan terjepit dan kehausan perjalanan di padang gurun Sin, mereka tidak terlalu berpikir tentang Allah dan pimpinan-Nya tetapi yang mereka pikirkan adalah tentang kebutuhan mereka sendiri. Mungkin saja bayangan tentang kemenangan di Laut Teberau masih memenuhi pikiran mereka. Saya tidak menyalahkan mereka, karena kita pun pada umumnya akan memikirkan dan berharap mendapatkan air yang dapat memuaskan dahaga kita.  Saat berada dalam situasi sulit, doa kitapun satu yakini minta Tuhan mengubah keadaan yang sulit menjadi keajaiban yang mencengangkan.  Tantangan terbesar kita adalah lupa untuk berserah dan berdoa pada-Nya dalam segala keadaan. Kita sudah tidak ingat lagi memuji dan bersorak di dalam Dia.  Kebutuhan seakan telah menjepit pikiran kita dan bayangan tentang air begitu mengisi pikiran sehingga tidak lagi memfokuskan diri pada Tuhan.  Lalu dengan mudahnya tergoda untuk mempersalahkan Allah dan tidak lagi mengandalkan-Nya dan mempercayai Dia.  Tentu ini adalah kesalahan yang besar.  Yang lebih menarik, mereka bukan hanya memfokuskan diri kepada kebutuhan mereka sendiri tetapi juga terlalu bergantung pada Musa.  Mereka telah lupa bahwa Musa adalah hanya sekedar alat di tangan Allah.   Rasa kagum bangsa itu kepada Musa, dipengaruhi karena kepemimpinannya yang ditandai oleh berbagai mujizat dan tanda; telah membutakan mata hati mereka, mereka menyangka bahwa Musa selalu mempunyai solusi bagi semua masalah.  Seakan bila Musa ada bersama dengan mereka maka semua menjadi istimewa dan beres.  Namun apa dikata, sekarang mereka merasa diperdaya, kekaguman mereka berubah menjadi omelan yang menyakitkan. Yang mereka lupa bahwa kekecewaan adalah merupakan cara Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa ada berhala-berhala dalam hidup kita yang harus kita tumbangkan.  Ketidak bergantungan dan kepercayaan diri yang berlebih akan membuat kita melihat kenyataan pahit.  Karena tidak selama ketika kita ditolong oleh Tuhan, itu menjadi patokan untuk perjalanan hidup kita ke depan.  Terkadang Tuhan menuntun kita step by step dalam perjalanan iman yang sulit bahkan berada dalam lorong yang gelap namun kunci dari semua perjalanan itu ialah dibutuhkan ketaatan dan penyerahan total.  Kita mengerjakan semua hal yang bisa kita kerjakan namun selebihnya kita harus tetap bergantung dan bersandar kepada Tuhan secara penuh.

      2.      Menguji Iman Mereka
Kini Musa bukan berhadapan dengan  sebuah bangsa yang sedang beriman.  Namun ia berhadapan dengan sebuah bangsa yang sedang marah mempersalahkan dia untuk persoalan air pahit yang mereka minum.  Menanggapi omelan bangsa itu, lalu Musa mengasingkan diri dari mereka dan mulai berbicara kepada Allah (ayat 25).  Di sinilah seharusnya menjadi letak kekutan umat Tuhan dan kekuatan hamba Tuhan.  Saat berhadapan dengan suatu masalah seharusnya pertama kali yang ia datangi bukan manusia, tetapi Tuhan yang ia percaya.  Tuhan adalah pribadi yang sangat layak untuk kita datangi dalam segala persoalan hidup kita.  Sebagaimana Asaf, saat dia tidak mengerti tentang jalan orang fasik dia tidak bertanya dengan masuk ke rumah tetangga, tetapi ia masuk ke dalam tempat kudus Tuhan sehingga ia mengerti bahwa orang fasik berada di jalan yang licin (Maz. 73:1-20). Beriman artinya selalu bersandar kepada pimpinan Tuhan meskipun berada dalam kesulitan. Tidak mengerti yang sedang terjadi bukan berarti kita diperbolehkan untuk bersungut-sungut, sebab justru disitulah letak dimana iman kita diuji apakah memilih untuk datang kepada Allah atau tidak.   Musa percaya kepada Tuhan, ia menunjukkan imannya dengan berseru kepada Tuhan.  Meski yang lain memandang air di Mara dengan omelan, tetapi Musa memandang ke atas dengan sebuah harapan. Allah sering mengubah keadaan kita sebagai respons atas doa kita.   Terkadang Allah melakukan mujizat yang lebih besar; daripada mengubah keadaan kita, Ia mengubah kita sehingga kita dapat menerima keadaan kita.   Tidak ada air yang terasa begitu manis selain air yang tadinya pahit.  Tidak ada hal yang lebih memuaskan selain melihat Allah campur tangan.  Allah tetap manis bahkan kalau pun air yang diharapkan oleh kita itu terasa pahit.  Pemazmur berkata, “dihadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, ditangan kanan-Mu ada hikmat senantiasa (Maz. 16:11).  Pemazmur mampu menikmati kebaikan Tuhan di dalam perjalanan Imannya.  Sehingga ada kesimpulan yang luar biasa tentang Allah yang ia percayai.  Iman yang sejati memang harus murni dan kemurnian itu harus diuji.  Ujian dari Iman menghasilkan ketekunan dan ketekunan menghasilkan ketaatan.  Ketaatan itulah yang menghasilkan kenikmatan dalam iman percaya kepada Tuhan.

            3.      Menguji kesetiaan Mereka
Allah menggunakan kesempatan pahit itu untuk memberikan janji kepada Israel, bahwa kalau merek patuh, mereka akan dijaga terhadap penyakit-penyakit yang telah menimpa bangsa-bangsa lain (Kel. 15:26).  Di dalam janji tersebut kesetiaan bangsa itu diuji.  Saya yakin bahwa kita punya mara atau pengalaman kepahitan hidup masing-masing.  Namun yang harus diingat bahwa Mara bukanlah air yang pahit selamanya, tetapi air yang tadinya pahit, namun dapat diubah Tuhan menjadi manis.  Percayalah bahwa mara yang saudara alami akan Tuhan ubah menjadi manis seperti janji firmanNya  Bukan hanya itu malah kita akan dibawa Tuhan berada di Elim. Sesudah Mara, orang Israel pergi ke Elim di mana terdapat dua belas sumber air dan tujuh puluh pohon korma (Kel.15:27).  Orang Israel yang haus menemukan satu sumber air untuk setiap suku dan cukup pohon korma sehingga semua orang dapat merasakan buah itu.  Itu artinya bahwa Mara atau pengalaman kepahitan yang saudara alami pasti  akan ada berkat Tuhan,  mata air yang manis Tuhan sediakan bagi kita masing-masing. Habis gelap terbitlah terang. Sebuah kisah yang menarik, seorang wanita Kristen muda yang bekerja digereja di Chicago secara keji diperkosa pada suatu malam di musim panas. Bertahun-tahun kemudian ia menulis mengenai pengalamannya. Ia menceritakan bagaimana Allah telah memberi kesembuhan, dan sekarang ia sudah menikah bahagia dan mempunyai beberapa anak. Salah satu pertanyaan yang diajukannya dengan melihat ke belakang ialah, waktu saya begitu terluka, mengapa tidak ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa suatu hari matahari akan bersinar lagi bagiku? Mengapa tidak ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa suatu hari saya akan menjadi sembuh lagi secara emotional? Pertanyaan dia sebenarnya adalah, waktu saya di Mara, mengapa tidak ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa pada akhirnya saya akan sampai di Elim?

Dibalik Mara Anda ada pohon yang dapat membuat air pahit menjadi manis. Kekecewaan Anda mungkin saja merupakan janji Allah untuk membuktikan bahwa berkat dapat mengikuti kepahitan, dan sengsara yang diterimaNamun, makin dekat kita kepada Allah makin cepat kita berjalan dari Mara ke Elim. Allah yang memimpin kita ke padang gurun juga mengantar kita ke tempat yang menyegarkan. Karena itu, belajarlah dewasa ketika dalam iman kita dengan sengaja dibawa Tuhan ke Mara, karena saat kita berada di Mara Tuhan ingin menguji: fokus hati kita, menguji kedalaman iman kita, dan menguji kesetiaan kita.  Saat kita diuji, kita sedang diajak Tuhan dalam pertualangan dan bergantung kepada-Nya secara penuh.  Ingatlah Mara bukanlah ENDING dari perjalanan iman karena di depan perjalanan masih ada Elim.  Mara dan Elim adalah dua tempat yang berbeda, namun keduanya bersifat menguji dan sekaligus akan menjadi tempat yang dapat mendatangkan berkat bila kita menanggapinya dengan hati yang taat.  Bila kita berada di Mara jangan cepat-cepat mengeluh karena di Mara pun Tuhan dapat menjadikannya menjadi manis. Namun bila kita sudah masuk ke ELIM maka harus selalu ingat bahwa Tuhanlah sang sumber BERKAT dan PEMIMPIN umat.  Amin

khotbah