Keluaran 14:19-27
Bangsa Israel baru saja melewati pertaruhan nyawa yang
sangat hebat dan menegangkan. Bagaimana tidak, di belakang mereka, Firaun dan
pasukan berkuda telah mendekat dan di depan mereka ada Laut Teberau sehingga mereka dalam keadaan sangat sulit dan terjepit.
Di dalam benak mereka hanya dua kemungkinan; mati di tangan Firaun atau mati
tenggelam di Laut Teberau. Sebuah keadaan yang tak mudah bukan? Namun
diluar dugaan dan kemampuan
mereka untuk mengatasi masalah tersebut, Tuhan bekerja dengan sempurna.
Pertolongan-Nya tidak terlambat dan tidak dapat dihambat. Firaun dan seluruh pasukannya dibuat-Nya mati
tenggelam. Kejadian
tersebut sontak disambut dengan sukacita dan sorak-sorai bangsa Israel dan mereka menyanyikan lagu kemenangan di hadapan
Tuhan, memainkan rebana dan menari-nari karena sebuah kejadian yang ajaib yang
Tuhan kerjakan bagi mereka.
Kejadian itu, bukanlah akhir dari cerita. Pada ayat 23 tertulis kalimat, “sampailah mereka ke Mara,”. Mara adalah
tempat yang diharapkan dan sekaligus menjadi tempat yang ditolak. Inilah tempat yang sudah
ditunggu-tunggu oleh bangsa Israel agar mereka boleh minum sepuasnya. Namun
sesampainya di sana, mereka sangat kecewa, air tersebut sama sekali tidak dapat
diminum karena rasanya pahit. Kenyataan sungguh tidak sesuai dengan impian. Sekarang bukan hanya
airnya yang terasa pahit
tetapi hati mereka juga menjadi pahit, mereka kecewa karena Musa tidak lagi
membuat keajaiban dan bisa menjadi andalan, ini mungkin saja sebuah pertanda bahwa Tuhan
seakan sudah tidak lagi berada di pihak mereka. Dalam kondisi yang pahit mereka tidak dapat
memahami Musa sekaligus sulit percaya kepada Tuhan.
Salahkah kalau mereka berharap agar air di Mara bisa menghilangkan
dahaga? Tentu tidak salah! Coba bayangkan sudah tiga hari di padang gurun
tidak minum air betapa hausnya mereka. Mungkin anak-anak mereka menangis,
istri-istri mulai mengomel, bapak-bapak sudah marah-marah dan ternak yang
meraka bawa sudah mulai lemah. Namun marilah kita melihat
semua peristiwa di dalam hidup ini dalam sudat pandang kaca mata Ilahi.
Melihat dengan Mata
Imam, melalui air di Mara Tuhan sedang menguji beberapa hal dari hidup
manusia.
1.
Menguji
Fokus Mereka
Ketika pengharapan mereka terhempas ke tanah, hati orang Israel yang
sesungguhnya terungkap. Dalam keadaan terjepit dan
kehausan perjalanan di padang gurun Sin, mereka tidak terlalu berpikir tentang Allah dan
pimpinan-Nya tetapi yang mereka
pikirkan adalah tentang
kebutuhan mereka sendiri. Mungkin saja bayangan tentang kemenangan di Laut
Teberau masih memenuhi pikiran mereka. Saya tidak menyalahkan mereka, karena kita pun pada
umumnya akan memikirkan dan berharap mendapatkan air yang dapat memuaskan
dahaga kita. Saat berada dalam situasi sulit, doa kitapun satu yakini minta Tuhan
mengubah keadaan yang sulit menjadi keajaiban yang mencengangkan. Tantangan terbesar kita adalah lupa untuk berserah
dan berdoa pada-Nya dalam segala keadaan. Kita sudah tidak ingat lagi memuji
dan bersorak di dalam Dia. Kebutuhan seakan telah
menjepit pikiran kita dan bayangan tentang air begitu mengisi pikiran sehingga
tidak lagi memfokuskan diri pada Tuhan. Lalu dengan mudahnya tergoda untuk mempersalahkan Allah
dan tidak lagi mengandalkan-Nya dan mempercayai Dia. Tentu ini adalah kesalahan yang besar. Yang lebih menarik, mereka bukan hanya memfokuskan
diri kepada kebutuhan mereka sendiri tetapi juga terlalu bergantung pada
Musa. Mereka telah lupa bahwa Musa adalah hanya sekedar alat di tangan
Allah. Rasa kagum bangsa itu kepada Musa, dipengaruhi
karena
kepemimpinannya yang ditandai oleh berbagai mujizat dan tanda; telah membutakan mata hati mereka,
mereka menyangka bahwa Musa selalu mempunyai solusi bagi semua masalah. Seakan bila
Musa ada bersama dengan mereka maka semua menjadi istimewa dan beres. Namun apa dikata, sekarang mereka merasa diperdaya,
kekaguman mereka berubah menjadi omelan yang menyakitkan. Yang mereka lupa bahwa
kekecewaan adalah merupakan cara Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa ada
berhala-berhala dalam hidup kita yang harus kita tumbangkan. Ketidak bergantungan dan kepercayaan diri
yang berlebih akan membuat kita melihat kenyataan pahit. Karena tidak selama ketika kita ditolong oleh
Tuhan, itu menjadi patokan untuk perjalanan hidup kita ke depan. Terkadang Tuhan menuntun kita step by step dalam
perjalanan iman yang sulit bahkan berada dalam lorong yang gelap namun kunci
dari semua perjalanan itu ialah dibutuhkan ketaatan dan penyerahan total. Kita mengerjakan semua hal yang bisa kita
kerjakan namun selebihnya kita harus tetap bergantung dan
bersandar kepada Tuhan secara penuh.
2. Menguji Iman Mereka
Kini Musa bukan berhadapan
dengan sebuah bangsa yang sedang beriman. Namun ia berhadapan
dengan sebuah bangsa yang sedang marah mempersalahkan dia untuk persoalan air
pahit yang mereka minum. Menanggapi omelan bangsa itu, lalu Musa mengasingkan diri dari mereka dan
mulai berbicara kepada Allah (ayat 25). Di sinilah seharusnya menjadi
letak kekutan umat Tuhan dan kekuatan hamba Tuhan. Saat berhadapan dengan
suatu masalah seharusnya pertama kali yang ia datangi bukan manusia, tetapi Tuhan yang ia
percaya.
Tuhan adalah pribadi yang sangat layak untuk kita datangi dalam segala
persoalan hidup kita. Sebagaimana Asaf, saat dia tidak mengerti tentang
jalan orang fasik dia tidak bertanya dengan masuk ke rumah tetangga, tetapi ia
masuk ke dalam tempat kudus Tuhan sehingga ia mengerti bahwa orang fasik berada
di jalan yang licin (Maz. 73:1-20). Beriman artinya selalu bersandar
kepada pimpinan Tuhan meskipun berada dalam kesulitan. Tidak mengerti yang
sedang terjadi bukan berarti kita diperbolehkan untuk bersungut-sungut, sebab
justru disitulah letak dimana iman kita diuji apakah memilih untuk datang
kepada Allah atau tidak. Musa percaya kepada Tuhan, ia menunjukkan
imannya dengan berseru kepada Tuhan. Meski yang lain memandang air di
Mara dengan omelan, tetapi Musa memandang ke atas dengan sebuah harapan. Allah sering mengubah keadaan kita
sebagai respons atas doa kita. Terkadang Allah melakukan mujizat
yang lebih besar; daripada mengubah keadaan kita, Ia mengubah kita sehingga
kita dapat menerima keadaan kita. Tidak ada air yang terasa begitu
manis selain air yang tadinya pahit. Tidak ada hal yang lebih memuaskan selain melihat
Allah campur tangan. Allah tetap manis bahkan kalau pun air yang diharapkan oleh kita itu terasa pahit. Pemazmur
berkata, “dihadapan-Mu
ada sukacita berlimpah-limpah, ditangan kanan-Mu ada hikmat senantiasa (Maz.
16:11). Pemazmur mampu menikmati kebaikan
Tuhan di dalam perjalanan Imannya.
Sehingga ada kesimpulan yang luar biasa tentang Allah yang ia
percayai. Iman yang sejati memang harus
murni dan kemurnian itu harus diuji.
Ujian dari Iman menghasilkan ketekunan dan ketekunan menghasilkan
ketaatan. Ketaatan itulah yang
menghasilkan kenikmatan dalam iman percaya kepada Tuhan.
3.
Menguji kesetiaan Mereka
Allah menggunakan kesempatan pahit
itu untuk memberikan janji kepada Israel, bahwa kalau merek patuh, mereka akan
dijaga terhadap penyakit-penyakit yang telah menimpa bangsa-bangsa lain (Kel.
15:26). Di dalam janji tersebut kesetiaan bangsa itu diuji. Saya
yakin bahwa kita punya mara atau pengalaman kepahitan hidup
masing-masing. Namun yang harus diingat bahwa Mara bukanlah air yang pahit
selamanya, tetapi air yang tadinya pahit, namun dapat diubah Tuhan menjadi
manis. Percayalah bahwa mara yang saudara alami akan Tuhan ubah menjadi
manis seperti janji firmanNya Bukan hanya itu malah kita akan dibawa
Tuhan berada di Elim. Sesudah Mara, orang Israel pergi ke Elim di mana
terdapat dua belas sumber air dan tujuh puluh pohon korma (Kel.15:27).
Orang Israel yang haus menemukan satu sumber air untuk setiap suku dan cukup
pohon korma sehingga semua orang dapat merasakan buah itu. Itu artinya
bahwa Mara atau pengalaman kepahitan yang saudara alami pasti akan ada berkat Tuhan, mata air yang manis Tuhan sediakan bagi kita
masing-masing. Habis gelap terbitlah terang. Sebuah kisah
yang menarik, seorang
wanita Kristen muda yang bekerja digereja di Chicago secara keji diperkosa pada
suatu malam di musim panas. Bertahun-tahun kemudian ia menulis mengenai
pengalamannya. Ia menceritakan bagaimana Allah telah memberi kesembuhan, dan
sekarang ia sudah menikah bahagia dan mempunyai beberapa anak. Salah satu
pertanyaan yang diajukannya dengan melihat ke belakang ialah, waktu saya begitu
terluka, mengapa tidak ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa suatu hari
matahari akan bersinar lagi bagiku? Mengapa tidak ada orang yang mengatakan
kepada saya bahwa suatu hari saya akan menjadi sembuh lagi secara emotional?
Pertanyaan dia sebenarnya adalah, waktu saya di Mara, mengapa tidak ada orang
yang mengatakan kepada saya bahwa pada akhirnya saya akan sampai di Elim?
Dibalik Mara Anda ada pohon yang
dapat membuat air pahit menjadi manis. Kekecewaan Anda mungkin saja merupakan
janji Allah untuk membuktikan bahwa berkat dapat mengikuti kepahitan, dan sengsara yang
diterima. Namun, makin dekat kita kepada Allah makin
cepat kita berjalan dari Mara ke Elim. Allah yang memimpin kita ke padang gurun
juga mengantar kita ke tempat yang menyegarkan. Karena itu, belajarlah dewasa ketika dalam iman kita dengan sengaja
dibawa Tuhan ke Mara, karena saat kita berada di Mara Tuhan ingin menguji:
fokus hati kita, menguji kedalaman iman kita, dan menguji kesetiaan kita.
Saat kita diuji, kita sedang diajak Tuhan dalam pertualangan dan bergantung kepada-Nya secara
penuh.
Ingatlah Mara bukanlah ENDING dari perjalanan iman karena di depan perjalanan
masih ada
Elim. Mara dan Elim adalah dua tempat yang berbeda, namun keduanya
bersifat menguji dan sekaligus akan menjadi tempat yang dapat mendatangkan berkat
bila kita menanggapinya dengan hati yang taat. Bila kita berada di Mara
jangan cepat-cepat mengeluh karena di Mara pun Tuhan dapat menjadikannya menjadi
manis. Namun bila kita sudah masuk ke ELIM maka harus selalu ingat bahwa Tuhanlah
sang sumber BERKAT dan PEMIMPIN umat. Amin