Senin, 26 Oktober 2015

Pahit menjadi Manis




Keluaran 14:19-27
Bangsa Israel baru saja melewati pertaruhan nyawa yang sangat hebat dan menegangkan. Bagaimana tidak, di belakang mereka, Firaun dan pasukan berkuda telah mendekat dan di depan mereka ada Laut Teberau sehingga  mereka dalam keadaan sangat sulit dan terjepit.  Di dalam benak mereka hanya dua kemungkinan; mati di tangan Firaun atau mati tenggelam di Laut Teberau. Sebuah keadaan yang tak mudah bukan? Namun diluar dugaan dan kemampuan mereka untuk mengatasi masalah tersebut, Tuhan bekerja dengan sempurna. Pertolongan-Nya tidak terlambat dan tidak dapat dihambat. Firaun dan seluruh pasukannya dibuat-Nya mati tenggelam.  Kejadian tersebut sontak disambut dengan sukacita dan sorak-sorai bangsa Israel dan mereka menyanyikan lagu kemenangan di hadapan Tuhan, memainkan rebana dan menari-nari karena sebuah kejadian yang ajaib yang Tuhan kerjakan bagi mereka. 

Kejadian itu, bukanlah akhir dari cerita.  Pada ayat 23 tertulis kalimat, “sampailah mereka ke Mara,”.  Mara adalah tempat yang diharapkan dan sekaligus menjadi tempat yang ditolak. Inilah tempat yang sudah ditunggu-tunggu oleh bangsa Israel agar mereka boleh minum sepuasnya. Namun sesampainya di sana, mereka sangat kecewa, air tersebut sama sekali tidak dapat diminum karena rasanya pahit. Kenyataan sungguh tidak sesuai dengan impian. Sekarang bukan hanya airnya yang terasa pahit tetapi hati mereka juga menjadi pahit, mereka kecewa karena Musa tidak lagi membuat keajaiban dan bisa menjadi andalan, ini mungkin saja sebuah pertanda bahwa Tuhan seakan sudah tidak lagi berada di pihak mereka.  Dalam kondisi yang pahit mereka tidak dapat memahami Musa sekaligus sulit percaya kepada Tuhan.

Salahkah kalau mereka berharap agar air di Mara bisa menghilangkan dahaga? Tentu tidak salah!  Coba bayangkan sudah tiga hari di padang gurun tidak minum air betapa hausnya mereka.  Mungkin anak-anak mereka menangis, istri-istri mulai mengomel,  bapak-bapak sudah marah-marah dan ternak yang meraka bawa sudah mulai lemah.  Namun marilah kita melihat semua peristiwa di dalam hidup ini dalam sudat pandang kaca mata Ilahi.  Melihat dengan Mata Imam, melalui air di Mara Tuhan sedang menguji beberapa hal dari hidup manusia. 

            1.    Menguji Fokus Mereka
Ketika pengharapan mereka terhempas ke tanah, hati orang Israel yang sesungguhnya terungkap.  Dalam keadaan terjepit dan kehausan perjalanan di padang gurun Sin, mereka tidak terlalu berpikir tentang Allah dan pimpinan-Nya tetapi yang mereka pikirkan adalah tentang kebutuhan mereka sendiri. Mungkin saja bayangan tentang kemenangan di Laut Teberau masih memenuhi pikiran mereka. Saya tidak menyalahkan mereka, karena kita pun pada umumnya akan memikirkan dan berharap mendapatkan air yang dapat memuaskan dahaga kita.  Saat berada dalam situasi sulit, doa kitapun satu yakini minta Tuhan mengubah keadaan yang sulit menjadi keajaiban yang mencengangkan.  Tantangan terbesar kita adalah lupa untuk berserah dan berdoa pada-Nya dalam segala keadaan. Kita sudah tidak ingat lagi memuji dan bersorak di dalam Dia.  Kebutuhan seakan telah menjepit pikiran kita dan bayangan tentang air begitu mengisi pikiran sehingga tidak lagi memfokuskan diri pada Tuhan.  Lalu dengan mudahnya tergoda untuk mempersalahkan Allah dan tidak lagi mengandalkan-Nya dan mempercayai Dia.  Tentu ini adalah kesalahan yang besar.  Yang lebih menarik, mereka bukan hanya memfokuskan diri kepada kebutuhan mereka sendiri tetapi juga terlalu bergantung pada Musa.  Mereka telah lupa bahwa Musa adalah hanya sekedar alat di tangan Allah.   Rasa kagum bangsa itu kepada Musa, dipengaruhi karena kepemimpinannya yang ditandai oleh berbagai mujizat dan tanda; telah membutakan mata hati mereka, mereka menyangka bahwa Musa selalu mempunyai solusi bagi semua masalah.  Seakan bila Musa ada bersama dengan mereka maka semua menjadi istimewa dan beres.  Namun apa dikata, sekarang mereka merasa diperdaya, kekaguman mereka berubah menjadi omelan yang menyakitkan. Yang mereka lupa bahwa kekecewaan adalah merupakan cara Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa ada berhala-berhala dalam hidup kita yang harus kita tumbangkan.  Ketidak bergantungan dan kepercayaan diri yang berlebih akan membuat kita melihat kenyataan pahit.  Karena tidak selama ketika kita ditolong oleh Tuhan, itu menjadi patokan untuk perjalanan hidup kita ke depan.  Terkadang Tuhan menuntun kita step by step dalam perjalanan iman yang sulit bahkan berada dalam lorong yang gelap namun kunci dari semua perjalanan itu ialah dibutuhkan ketaatan dan penyerahan total.  Kita mengerjakan semua hal yang bisa kita kerjakan namun selebihnya kita harus tetap bergantung dan bersandar kepada Tuhan secara penuh.

      2.      Menguji Iman Mereka
Kini Musa bukan berhadapan dengan  sebuah bangsa yang sedang beriman.  Namun ia berhadapan dengan sebuah bangsa yang sedang marah mempersalahkan dia untuk persoalan air pahit yang mereka minum.  Menanggapi omelan bangsa itu, lalu Musa mengasingkan diri dari mereka dan mulai berbicara kepada Allah (ayat 25).  Di sinilah seharusnya menjadi letak kekutan umat Tuhan dan kekuatan hamba Tuhan.  Saat berhadapan dengan suatu masalah seharusnya pertama kali yang ia datangi bukan manusia, tetapi Tuhan yang ia percaya.  Tuhan adalah pribadi yang sangat layak untuk kita datangi dalam segala persoalan hidup kita.  Sebagaimana Asaf, saat dia tidak mengerti tentang jalan orang fasik dia tidak bertanya dengan masuk ke rumah tetangga, tetapi ia masuk ke dalam tempat kudus Tuhan sehingga ia mengerti bahwa orang fasik berada di jalan yang licin (Maz. 73:1-20). Beriman artinya selalu bersandar kepada pimpinan Tuhan meskipun berada dalam kesulitan. Tidak mengerti yang sedang terjadi bukan berarti kita diperbolehkan untuk bersungut-sungut, sebab justru disitulah letak dimana iman kita diuji apakah memilih untuk datang kepada Allah atau tidak.   Musa percaya kepada Tuhan, ia menunjukkan imannya dengan berseru kepada Tuhan.  Meski yang lain memandang air di Mara dengan omelan, tetapi Musa memandang ke atas dengan sebuah harapan. Allah sering mengubah keadaan kita sebagai respons atas doa kita.   Terkadang Allah melakukan mujizat yang lebih besar; daripada mengubah keadaan kita, Ia mengubah kita sehingga kita dapat menerima keadaan kita.   Tidak ada air yang terasa begitu manis selain air yang tadinya pahit.  Tidak ada hal yang lebih memuaskan selain melihat Allah campur tangan.  Allah tetap manis bahkan kalau pun air yang diharapkan oleh kita itu terasa pahit.  Pemazmur berkata, “dihadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, ditangan kanan-Mu ada hikmat senantiasa (Maz. 16:11).  Pemazmur mampu menikmati kebaikan Tuhan di dalam perjalanan Imannya.  Sehingga ada kesimpulan yang luar biasa tentang Allah yang ia percayai.  Iman yang sejati memang harus murni dan kemurnian itu harus diuji.  Ujian dari Iman menghasilkan ketekunan dan ketekunan menghasilkan ketaatan.  Ketaatan itulah yang menghasilkan kenikmatan dalam iman percaya kepada Tuhan.

            3.      Menguji kesetiaan Mereka
Allah menggunakan kesempatan pahit itu untuk memberikan janji kepada Israel, bahwa kalau merek patuh, mereka akan dijaga terhadap penyakit-penyakit yang telah menimpa bangsa-bangsa lain (Kel. 15:26).  Di dalam janji tersebut kesetiaan bangsa itu diuji.  Saya yakin bahwa kita punya mara atau pengalaman kepahitan hidup masing-masing.  Namun yang harus diingat bahwa Mara bukanlah air yang pahit selamanya, tetapi air yang tadinya pahit, namun dapat diubah Tuhan menjadi manis.  Percayalah bahwa mara yang saudara alami akan Tuhan ubah menjadi manis seperti janji firmanNya  Bukan hanya itu malah kita akan dibawa Tuhan berada di Elim. Sesudah Mara, orang Israel pergi ke Elim di mana terdapat dua belas sumber air dan tujuh puluh pohon korma (Kel.15:27).  Orang Israel yang haus menemukan satu sumber air untuk setiap suku dan cukup pohon korma sehingga semua orang dapat merasakan buah itu.  Itu artinya bahwa Mara atau pengalaman kepahitan yang saudara alami pasti  akan ada berkat Tuhan,  mata air yang manis Tuhan sediakan bagi kita masing-masing. Habis gelap terbitlah terang. Sebuah kisah yang menarik, seorang wanita Kristen muda yang bekerja digereja di Chicago secara keji diperkosa pada suatu malam di musim panas. Bertahun-tahun kemudian ia menulis mengenai pengalamannya. Ia menceritakan bagaimana Allah telah memberi kesembuhan, dan sekarang ia sudah menikah bahagia dan mempunyai beberapa anak. Salah satu pertanyaan yang diajukannya dengan melihat ke belakang ialah, waktu saya begitu terluka, mengapa tidak ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa suatu hari matahari akan bersinar lagi bagiku? Mengapa tidak ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa suatu hari saya akan menjadi sembuh lagi secara emotional? Pertanyaan dia sebenarnya adalah, waktu saya di Mara, mengapa tidak ada orang yang mengatakan kepada saya bahwa pada akhirnya saya akan sampai di Elim?

Dibalik Mara Anda ada pohon yang dapat membuat air pahit menjadi manis. Kekecewaan Anda mungkin saja merupakan janji Allah untuk membuktikan bahwa berkat dapat mengikuti kepahitan, dan sengsara yang diterimaNamun, makin dekat kita kepada Allah makin cepat kita berjalan dari Mara ke Elim. Allah yang memimpin kita ke padang gurun juga mengantar kita ke tempat yang menyegarkan. Karena itu, belajarlah dewasa ketika dalam iman kita dengan sengaja dibawa Tuhan ke Mara, karena saat kita berada di Mara Tuhan ingin menguji: fokus hati kita, menguji kedalaman iman kita, dan menguji kesetiaan kita.  Saat kita diuji, kita sedang diajak Tuhan dalam pertualangan dan bergantung kepada-Nya secara penuh.  Ingatlah Mara bukanlah ENDING dari perjalanan iman karena di depan perjalanan masih ada Elim.  Mara dan Elim adalah dua tempat yang berbeda, namun keduanya bersifat menguji dan sekaligus akan menjadi tempat yang dapat mendatangkan berkat bila kita menanggapinya dengan hati yang taat.  Bila kita berada di Mara jangan cepat-cepat mengeluh karena di Mara pun Tuhan dapat menjadikannya menjadi manis. Namun bila kita sudah masuk ke ELIM maka harus selalu ingat bahwa Tuhanlah sang sumber BERKAT dan PEMIMPIN umat.  Amin

khotbah